About Me

Foto Saya
Blog Harian Ku
Lihat profil lengkapku

Followers

About Me

Foto Saya
Blog Harian Ku
Lihat profil lengkapku

music

Free Music Sites
Free Music Online

free music at divine-music.info

Sabtu, 23 Februari 2013

HARI RAYA PAGERWESI



 
MAKNA HARI RAYA PAGERWESI Kata "pagerwesi" artinya pagar dari besi. Ini me-lambangkan suatu perlindungan yang kuat. Segala sesuatu yang dipagari berarti sesuatu yang bernilai tinggi agar jangan mendapat gangguan atau dirusak. Hari Raya Pagerwesi sering diartikan oleh umat Hindu sebagai hari untuk memagari diri yang dalam bahasa Bali disebut magehang awak. Nama Tuhan yang dipuja pada hari raya ini adalah Sanghyang Pramesti Guru. Sanghyang Paramesti Guru adalah nama lain dari Dewa Siwa sebagai manifestasi Tuhan untuk melebur segala hal yang buruk. Dalam kedudukannya sebagai Sanghyang Pramesti Guru, beliau menjadi gurunya alam semesta terutama manusia. Hidup tanpa guru sama dengan hidup tanpa penuntun, sehingga tanpa arah dan segala tindakan jadi ngawur. Hari Raya Pagerwesi dilaksanakan pada hari Budha (Rabu) Kliwon Wuku Shinta. Hari raya ini dilaksanakan 210 hari sekali. Sama halnya dengan Galungan, Pagerwesi termasuk pula rerahinan gumi, artinya hari raya untuk semua masyarakat, baik pendeta maupun umat walaka. Dalam lontar Sundarigama disebutkan: "Budha Kliwon Shinta Ngaran Pagerwesi payogan Sang Hyang Pramesti Guru kairing ring watek Dewata Nawa Sanga ngawerdhiaken sarwa tumitah sarwatumuwuh ring bhuana kabeh." Artinya: Rabu Kliwon Shinta disebut Pagerwesi sebagai pemujaan Sang Hyang Pramesti Guru yang diiringi oleh Dewata Nawa Sanga (sembilan dewa) untuk mengembangkan segala yang lahir dan segala yang tumbuh di seluruh dunia. Pelaksanaan upacara/upakara Pagerwesi sesungguhnya titik beratnya pada para pendeta atau rohaniawan pemimpin agama. Dalam lontar Sundarigama disebutkan: Sang Purohita ngarga apasang lingga sapakramaning ngarcana paduka Prameswara. Tengahiwengi yoga samadhi ana labaan ring Sang Panca 0Maha Bhuta, sewarna anut urip gelarakena ring natar sanggah. Artinya: Sang Pendeta hendaknya ngarga dan mapasang lingga sebagaimana layaknya memuja Sang Hyang Prameswara (Pramesti Guru). Tengah malam melakukan yoga samadhi, ada labaan (persembahan) untuk Sang Panca Maha Bhuta, segehan (terbuat dari nasi) lima warna menurut uripnya dan disampaikan di halaman sanggah (tempat persembahyangan). Hakikat pelaksanaan upacara Pegerwesi adalah lebih ditekankan pada pemujaan oleh para pendeta dengan melakukan upacara Ngarga dan Mapasang Lingga. Tengah malam umat dianjurkan untuk melakukan meditasi (yoga dan samadhi). Banten yang paling utama bagi para Purohita adalah "Sesayut Panca Lingga" sedangkan perlengkapannya Daksina, Suci Praspenyeneng dan Banten Penek. Meskipun hakikat hari raya Pagerwesi adalah pemujaan (yoga samadhi) bagi para Pendeta (Purohita) namun umat kebanyakan pun wajib ikut merayakan sesuai dengan kemampuan. Banten yang paling inti perayaan Pegerwesi bagi umat kebanyakan adalah natab Sesayut Pagehurip, Prayascita, Dapetan. Tentunya dilengkapi Daksina, Canang dan Sodaan. Dalam hal upacara, ada dua hal banten pokok yaitu Sesayut Panca Lingga untuk upacara para pendeta dan Sesayut Pageh Urip bagi umat kebanyakan. Makna Filosofi Sebagaimana telah disebutkan dalam lontar Sundarigama, Pagerwesi yang jatuh pada Budha Kliwon Shinta merupakan hari Payogan Sang Hyang Pramesti Guru diiringi oleh Dewata Nawa Sangga. Hal ini mengundang makna bahwa Hyang Premesti Guru adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai guru sejati. Mengadakan yoga berarti Tuhan menciptakan diri-Nya sebagai guru. Barang siapa menyucikan dirinya akan dapat mencapai kekuatan yoga dari Hyang Pramesti Guru. Kekuatan itulah yang akan dipakai memagari diri. Pagar yang paling kuat untuk melindungi diri kita adalah ilmu yang berasal dari guru sejati pula. Guru yang sejati adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu inti dari perayaan Pagerwesi itu adalah memuja Tuhan sebagai guru yang sejati. Memuja berarti menyerahkan diri, menghormati, memohon, memuji dan memusatkan diri. Ini berarti kita harus menyerahkan kebodohan kita pada Tuhan agar beliau sebagai guru sejati dapat megisi kita dengan kesucian dan pengetahuan sejati. Pada hari raya Pagerwesi adalah hari yang paling baik mendekatkan Atman kepada Brahman sebagai guru sejati . Pengetahuan sejati itulah sesungguhnya merupakan "pager besi" untuk melindungi hidup kita di dunia ini. Di samping itu Sang Hyang Pramesti Guru beryoga bersama Dewata Nawa Sanga adalah untuk "ngawerdhiaken sarwa tumitah muang sarwa tumuwuh." Ngawerdhiaken artinya mengembangkan. Tumitah artinya yang ditakdirkan atau yang terlahirkan. Tumuwuh artinya tumbuh-tumbuhan. Mengembangkan hidup dan tumbuh-tumbuhan perlulah kita berguru agar ada keseimbangan. Dalam Bhagavadgita disebutkan ada tiga sumber kemakmuran yaitu: Krsi yang artinya pertanian (sarwa tumuwuh). Goraksya, artinya peternakan atau memelihara sapi sebagai induk semua hewan. Wanijyam, artinya perdagangan. Berdagang adalah suatu pengabdian kepada produsen dan konsumen. Keuntungan yang benar, berdasarkan dharma apabila produsen dan konsumen diuntungkan. Kalau ada pihak yang dirugikan, itu berarti ada kecurangan. Keuntungan yang didapat dari kecurangan jelas tidak dikehendaki dharma. Kehidupan tidak terpagari apabila tidak berkembangnya sarwa tumitah dan sarwa tumuwuh. Moral manusia akan ambruk apabila manusia dilanda kemiskinan baik miskin moral maupun miskin material. Hari raya Pagerwesi adalah hari untuk mengingatkan kita untuk berlindung dan berbakti kepada Tuhan sebagai guru sejati. Berlindung dan berbakti adalah salah satu ciri manusia bermoral tanpa kesombongan. Mengembangkan pertanian dan peternakan bertujuan untuk memagari manusia dari kemiskinan material. Karena itu tepatlah bila hari raya Pagerwesi dipandang sebagai hari untuk memerangi diri dengan kekuatan meterial. Kalau kedua hal itu (pertanian dan peternakan) kuat, maka adharma tidak dapat masuk menguasai manusia. Yang menarik untuk dipahami adalah Pagerwesi adalah hari raya yang lebih diperuntukkan para pendeta (sang purohita). Hal ini dapat dipahami, karena untuk menjangkau vibrasi yoga Sanghyang Pramesti Guru tidaklah mudah. Hanya orang tertentu yang dapat menjangkau vibrasi Sanghyang Pramesti Guru. Karena itu ditekankan pada pendeta dan beliaulah yang akan melanjutkan pada masyarakat umum. Dalam agama Hindu, purohita adalah adi guru loka yaitu guru utama dari masyarakat. Sang Purohita-lah yang lebih mampu menggerakkan atma dengan tapa brata. Dalam Manawa Dharmasastra V, 109 disebutkan: Atma dibersihkan dengan tapa bratabudhi dibersihkan dengan ilmu pengetahuan (widia) manah (pikiran) dibersihkan dengan kebenaran dan kejujuran yang disebut satya. Penjelasan Manawa Dharmasastra ini adalah bahwa atma yang tidak diselimuti oleh awan kegelapan dari hawa nafsu akan dapat menerima vibrasi spiritual dari Brahman. Vibrasi spiritual itulah sebagai pagar besi dari kehidupan dan itu pulalah guru sejati. Karena itu amat ditekankan pada Hari Raya Pagerwesi para pendeta agar ngarga, mapasang lingga. Ngarga adalah suatu tempat untuk membuat tirtha bagi para pendeta. Sebelum membuat tirtha, terlebih dahulu pendeta menyucikan arga dengan air, dengan pengasepan sampai disucikan dengan mantra-mantra tertentu sehingga tirtha yang dihasilkan betul-betul amat suci. Pembuatan tirtha dalam upacara-upacara besar dilakukan dengan mapulang lingga. Tirtha suci itulah yang akan dibagikan kepada umat. Mengingat ngargha mapasang lingga dianjurkan oleh lontar Sundarigama pada hari Pagerwesi ini, berarti para pendeta harus melakukan hal yang amat utama untuk mencapai vibrasi spiritual payogan Sanghyang Pramesti Guru. Sesayut Panca Lingga dengan inti ketipat Lingga adalah memohon lima manifestasi Siwa untuk memberikan benteng kekuatan (pager besi) dalam menghadapi hidup ini. Para pendetalah yang mempunyai kewajiban menghadirkan lebih intensif dalam masyarakat. Kemahakuasaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Siwa dengan simbol Panca Lingga, Sesayut Pageh Urip bagi kebanyakan atau umat yang masih walaka. Kata "pageh" artinya "pagar" atau "teguh" sedangkan "urip" artinya "hidup". "Pageh urip" artinya hidup yang teguh atau hidup yang terlindungi. Kata "sesayut" berasal dari bahasa Jawa dari kata "ayu" artinya selamat atau sejahtera. Natab Sesayut artinya mohon keselamatan atau kerahayuan. Banten Sesayut memakai alas sesayut yang bentuknya bundar dan maiseh dari daun kelapa. Bentuk ini melambangkan bahwa untuk mendapatkan keselamatan haruslah secara bertahap dan beren-cana. Tidak bisa suatu kebaikan itu diwujudkan dengan cara yang ambisius. Demikianlah sepintas filosofi yang terkandung dalam lambang upacara Pagerwesi. Di India, umat Hindu memiliki hari raya yang disebut Guru Purnima dan hari raya Walmiki Jayanti. Upacara Guru Purnima pada intinya adalah hari raya untuk memuja Resi Vyasa berkat jasa beliau mengumpulkan dan mengkodifikasi kitab suci Weda. Resi Vyasa pula yang menyusun Itihasa Mahabharatha dan Purana. Putra Bhagawan Parasara itu pula yang mendapatkan wahyu ten-tang Catur Purusartha yaitu empat tujuan hidup yang kemudian diuraikan dalam kitab Brahma Purana. Berkat jasa-jasa Resi Vyasa itulah umat Hindu setiap tahun merayakan Guru Purnima dengan mengadakan persembahyangan atau istilah di India melakukan puja untuk keagungan Resi Vyasa dengan mementaskan berbagai episode tentang Resi Vyasa. Resi Vyasa diyakini sebagai adi guru loka yaitu gurunya alam semesta.  Sedangkan Walmiki Jayanti dirayakan setiap bulan Oktober pada hari Purnama. Walmiki Jayanti adalah hari raya untuk memuja Resi Walmiki yang amat berjasa menyusun Ramayana sebanyak 24.000 sloka. Ke-24. 000 sloka Ramayana itu dikembangkan dari Tri Pada Mantra yaitu bagian inti dari Savitri Mantra yang lebih populer dengan Gayatri Mantra. Ke-24 suku kata suci dari Tri Pada Mantra itulah yang berhasil dikembangkan menjadi 24.000 sloka oleh Resi Walmiki berkat kesuciannya. Sama dengan Resi Vyasa, Resi Walmiki pun dipuja sebagai adi guru loka yaitu maha gurunya alam semesta. Sampai saat ini Mahabharata dan Ramayana yang disebut itihasa adalah merupakan pagar besi dari manusia untuk melindungi dirinya dari serangan hawa nafsu jahat. Jika kita boleh mengambil kesimpulan, kiranya Hari Raya Pagerwesi di Indonesia dengan Hari Raya Guru Purnima dan Walmiki Jayanti memiliki semangat yang searah untuk memuja Tuhan dan resi sebagai guru yang menuntun manusia menuju hidup yang kuat dan suci. Nilai hakiki dari perayaan Guru Purnima dan Walmiki Jayanti dengan Pegerwesi dapat dipadukan. Namun bagaimana cara perayaannya, tentu lebih tepat disesuaikan dengan budaya atau tradisi masing-masing tempat. Yang penting adalah adanya pemadatan nilai atau penambahan makna dari memuja Sanghyang Pramesti Guru ditambah dengan memperdalam pemahaman akan jasa-jasa para resi, seperti Resi Vyasa, Resi Walmiki dan resi-resi yang sangat berjasa bagi umat Hindu di Indonesia.

HARI RAYA SARASWATI


 MAKNA DAN INTI PERAYAAN HARI RAYA SARASWATI Hari raya Saraswati adalah hari yang penting bagi umat hindu, khususnya bagi siswa sekolah dan penggelut dunia pendidikan karena Umat Hindu mempercayai hari Saraswati adalah turunnya ilmu pengetahuan yang suci kepada umat manusia untuk kemakmuran, kemajuan, perdamaian, dan meningkatkan keberadaban umat manusia. Hari raya Saraswati diperingati setiap enam bulan sekali, tepatnya pada hari Saniscara Umanis wuku Watugunung. Di hari Saraswati biasanya pagi2 para siswa sekolah sudah sibuk mempersiapkan upacara sembahyang di sekolah masing2, sehabis itu biasanya para siswa melanjutkan sembahyang ke pura2 lainnya. Dan pura yang menjadi paforit adalah pura Jagatnatha yang ada dipusatkota. Di sekolah, di pura, di rumah maupun di perkantoran semua buku, lontar, pustaka2 dan alat2 tulis di taruh pada suatu tempat untuk diupacarai.Adamitos pada hari Saraswati tidak diperbolehkan untuk menulis dan membaca lho… Hari Raya Saraswati yaitu hari Pawedalan Sang Hyang Aji Saraswati, jatuh pada tiap-tiap hari Saniscara Umanis wuku Watugunung. Pada hari itu kita umat Hindu merayakan hari yang penting itu. Terutama para pamong dan siswa-siswa khususnya, serta pengabdi-pengabdi ilmu pengetahuan pada umumnya. Dalam legenda digambarkan bahwa Saraswati adalah Dewi/ lstri Brahma. Saraswati adalah Dewi pelindung/ pelimpah pengetahuan, kesadaran (widya), dan sastra. Berkat anugerah dewi Saraswati, kita menjadi manusia yang beradab dan berkebudayaan. Beliau disimbolkan sebagai seorang dewi yang duduk diatas teratai dengan berwahanakan se-ekor angsa (Hamsa) atau seekor merak, berlengan empat dengan membawa sitar/veena dan ganatri di kedua tangan kanan, tangan kiri membawa pustaka/kitab dan tangan kiri satunya ikut memainkan gitar membawa sitar/veena dan ganatri di kedua tangan kanan, tangan kin membawa pustaka/kitab dan tangan kiri satunya ikut memainkan veena atau bermudra memberkahi. Makna dan simbol-simbol ini adalah: 1. Berkulit putih, bermakna: sebagai dasar ilmu pengetahuan (vidya) yang putih, bersih dan suci. 2. Kitab/pustaka ditangan kiri, bermakna: Semua bentuk ilmu dan sains yang bersifat se-kular. Tetapi walaupun vidya (ilmu pengetahuan spiritual) dapat mengarahkan kita ke moksha, namun avidya (ilmu pengetahuan sekular jangan diabaikan dulu). Seperti yang dijelaskan Isavasya-Upanishad: “Kita melampaui kelaparan dan da-haga melalui avidya, kemudian baru melalui vidya meniti dan mencapai moksha.” 3. Veena, bermakna : seni, musik, budaya dan suara AUM. Juga merupakan simbol keharmonisan pikiran, budhi, kehidupan dengan alam lingkungan. 4. Akshamala/ganatri/tasbih di tangan kanan, bermakna: Ilmu pengetahuan spiritual itu lebih berarti daripada berbagai sains yang bersifat secular (ditangan kiri). Akan tetapi bagaimanapun pentingnya kitab-kitab dan ajaran berbagai ilmu pengetahuan, namun tanpa penghayatan dan bakti yang tulus, maka semua ajaran ini akan mubazir atau sia-sia. 5. Wajah cantik jelita dan kemerah-merahan, bermakna: Simbol kebodohan dan kemewahan duniawi yang sangat memukau namun menye-satkan (avidya). 6. Angsa (Hamsa), melambangkan: Bisa me-nyaring air dan memisahkan mana kotoran dan mana yang bisa dimakan, mana yang baik mana yang buruk, walaupun berada di dalam air yang kotor dan keruh maupun Lumpur, (simbol vidya).  7. Merak , bermakna: berbulu indah, cantik dan cemerlang biarpun habitatnya di hutan. Dan ber-sama dengan angsa bermakna sebagai wahana (alat, perangkat, penyampai pesan-pesan-Nya). 8. Bunga Teratai/Lotus, bermakna: bisa tumbuh dengan subur dan menghasilkan bunga yang in-dah walaupun hidupnya di atas air yang kotor. Upacara pada hari Saraswati, pustaka-pustaka, lontar-lontar, buku-buku dan alat-alat tulis menulis yang mengandung ajaran atau berguna untuk ajaran-ajaran agama, kesusilaan dan sebagainya, dibersihkan, dikumpulkan dan diatur pada suatu tempat, di pura, di pemerajan atau di dalam bilik untuk diupacarai Widhi widhana (bebanten = sesajen) terdiri dari peras daksina, bebanten dan sesayut Saraswati, rayunan putih kuning serta canang-canang, pasepan, tepung tawar, bunga, sesangku (samba = gelas), air suci bersih dan bija (beras) kuning.

HARI RAYA TUMPEK LANDEP


       MAKNA HARI RAYA TUMPEK LANDEP Umat Hindu merayakan rerahinan Tumpek Landep, Sabtu Kliwon Wuku Landep. Pada Tumpek Landep, umat Hindu memuja Ida Sang Hyang Widhi dalam prebawa-nya sebagai Sang Hyang Pasupati yang telah menganugerahkan kecerdasan atau ketajaman pikiran sehingga mampu menciptakan teknologi atau benda-benda yang dapat mempermudah dan memperlancar hidup, seperti sepeda motor, mobil, mesin, komputer (laptop) dan sebagainya. Tetapi dalam konteks itu umat bukanlah menyembah mobil, komputer, tetapi memohon kepada Ida Sang Hyang Pasupati agar benda-benda tersebut betul-betul dapat berguna bagi kehidupan manusia. Landep dalam Tumpek Landep memiliki pengertian lancip. Secara harfiah diartikan senjata tajam seperti tombak dan keris. Benda-benda tersebut dulunya difungsikan sebagai senjata hidup untuk menegakkan kebenaran. Secara sekala, benda-benda tersebut diupacarai dalam Tumpek Landep. Namun dalam konteks kekinian, senjata lancip itu sudah meluas. Tak hanya keris dan tombak, juga benda-benda hasil cipta karsa manusia yang dapat mempermudah hidup seperti sepeda motor, mobil, mesin, komputer dan sebagainya. Benda-benda itulah yang diupacarai. Namun harus disadari, dalam konteks itu umat bukanlah menyembah benda-benda teknologi, tetapi umat memohon kepada Ida Sang Hyang Widi dalam prebawa-nya sebagai Sang Hyang Pasupati yang telah menganugerahkan kekuatan pada benda tersebut sehingga betul-betul mempermudah hidup. Dalam pengertian, bahwa umat patut bersyukur kepada Tuhan karena telah diberikan kemampuan atau ketajaman pikiran sehingga mampu menciptakan aneka benda atau teknologi yang dapat mempermudah hidup. Sementara dalam kaitan dengan buana alit (diri manusia), Tumpek Landep itu sesungguhnya momentum untuk selalu menajamkan pikiran (landeping idep), menajamkan perkataan (landeping wak) dan menajamkan perbuatan (landeping kaya). Ketiga unsur Tri Kaya Parisuda tersebut perlu lebih dipertajam agar berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Buah pikiran perlu dipertajam untuk kepentingan umat manusia, demikian pula perbuatan dan perkataan yang dapat menentramkan pikiran dan batin orang lain. Pikiran kita mesti selalu diasah agar mengalami ketajaman. Ilmu pengetahuanlah alat untuk menajamkan pikiran. Komputer yang diciptakan untuk mempertajam pikiran, hendaknya dimanfaatkan dengan baik. Internet mesti digunakan untuk mengakses informasi sehingga wawasan dan kecerdasan bertambah, bukan untuk mengunduh yang lain-lain. Jadi Tumpek Landep memiliki nilai filosofi agar umat selalu menajamkan pikiran. Setiap enam bulan sekali umat diingatkan melakukan evaluasi apakah pikiran sudah selalu dijernihkan atau diasah agar tajam? Sebab, dengan pikiran yang tajam, umat menjadi lebih cerdas, lebih jernih melakukan analisa, lebih tepat menentukan keputusan dan sebagainya.  Lewat perayaan Tumpek Landep itu umat diingatkan agar selalu menggunakan pikiran yang tajam sebagai tali kendali kehidupan. Misalnya, ketika umat memerlukan sarana untuk memudahkan hidup, seperti mobil, sepeda motor dan sebagainya, pikiran yang tajam itu mesti dijadikan kendali. Keinginan mesti mampu dikendalikan oleh pikiran. Dengan demikian keinginan memiliki benda-benda itu tidak berdasarkan atas gengsi, tetapi betul-betul berfungsi untuk menguatkan hidup sehingga betul-betul tepat guna. Rerahinan Tumpek Landep inilah sesungguhnya momen bagi kita untuk lebih menajamkan pikiran.

HARI RAYA BANYU PINARUH


MAKNA HARI RAYA BANYU PINARUH Setelah hari raya Saraswati di lanjutkan dengan mandi di laut atau sumber-sumber air untuk pembersihan diri. Banyu Pinaruh asal kata banyu= air), Pinaruh atau Pengeruwuh (pengetahuan) secara nyata umat membersihkan badan dan keramas. Akan tetapi prosesi bermaksud membersihkan kotoran atau kegelapan pikiran yang melekat pada tubuh manusia, dengan ilmu pengetahuan atau mandi dengan ilmu pengetahuan. Simbolisasi di sungai karena diharapkan ilmu yang telah dipelajari saat saraswati bisa mengalir lancar, simbolisasi di laut bermakna agar ilmu yang dipelajari bisa membuat pengetahuan kita luas dan dalam serta bisa menjadi peleburan segala kebodohan dan awidya, simbolisasi di mata air karena diharapkan ilmu yang kita pelajari bisa menjadi sumber pencerahan, kehidupan tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga masyarakat banyak dan ilmu yang diperoleh manusia seharusnya dimanfaatkan untuk hal-hal yang baik di jalan dharma.


HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN


MAKNA HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN Sejarah Hari Raya Galungan masih merupakan misteri. Dengan mempelajari pustaka-pustaka, diantaranya Panji Amalat Rasmi (Jaman Jenggala) pada abad ke XI di Jawa Timur, Galungan itu sudah dirayakan. Dalam Pararaton jaman akhir kerajaan Majapahit pada abad ke XVI, perayaan semacam ini juga sudah diadakan. Menurut arti bahasa, Galungan itu berarti peperangan. Dalam bahasa Sunda terdapat kata Galungan yang berarti berperang. Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi. Tidak berarti bahwa Gumi/ Jagad ini lahir pada hari Budha Keliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan maha suksemaning idepnya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya. Pada hari itulah umat angayubagia, bersyukur atas karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini. Ngaturang maha suksmaning idép, angayubagia adalah suatu pertanda jiwa yang sadar akan Kinasihan, tahu akan hutang budi. Yang terpenting, dalam pelaksanaan upakara pada hari-hari raya itu adalah sikap batin. Mengenai bebanten tidak kami tuliskan secara lengkap dan terinci. Hanya ditulis yang pokok-pokok saja menurut apa yang umum dilakukan oleh umat. Namun sekali lagi, yang terpenting adalah kesungguhan niat dalam batin. Dalam rangkaian peringatan Galungan, pustaka-pustaka mengajarkan bahwa sejak Redite Pahing Dungulan kita didatangi oleh Kala-tiganing Galungan. Sang Kala Tiga ialah Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat. Disebutkan dalam pustaka-pustaka itu: mereka adalah simbul angkara (keletehan). Jadi dalam hal ini umat berperang, bukanlah melawan musuh berbentuk fisik, tetapi kala keletehan dan adharma. Berjuang, berperang antara dharma untuk mengalahkan adharma. Memilik nama-nama itu, dapatlah kiranya diartikan sebagai berikut: Hari pertama = Sang Bhuta Galungan. Galungan berarti berperang/ bertempur. Berdasarkan ini, boleh kita artikan bahwa pada hari Redite Pahing Dungulan kita baru kedatangan bhuta (kala) yang menyerang (kita baru sekedar diserang). Hari kedua = Sang Bhuta Dungulan. Ia mengunjungi kita pada hari Soma Pon Dungulan keesokan harinya. Kata Dungulan berarti menundukkan/ mengalahkan. Hari ketiga = Sang Bhuta Amangkurat Hari Anggara Wage Dungulan kita dijelang oleh Sang Bhuta Amangkurat. Amangkurat sama dengan menguasai dunia. Dimaksudkan menguasai dunia besar (Bhuwana Agung), dan dunia kecil ialah badan kita sendiri (Bhuwana Alit). Pendeknya, mula-mula kita diserang, kemudian ditundukkan, dan akhirnya dikuasai. Ini yang akan terjadi, keletehan benar-benar akan menguasai kita, bila kita pasif saja kepada serangan-serangan itu. Dalam hubungan inilah Sundari-Gama mengajarkan agar pada hari-hari ini umat den prayitna anjekung jnana nirmala, lamakane den kasurupan. Hendaklah umat meneguhkan hati agar jangan sampai terpengaruh oleh bhuta-bhuta (keletehan-keletehan) hati tersebut. Inilah hakikat Abhya-Kala (mabiakala) dan metetebasan yang dilakukan pada hari Penampahan itu. Menurut Pustaka (lontar) Djayakasunu, pada hari Galungan itu Ida Sanghyang Widhi menurunkan anugrah berupa kekuatan iman, dan kesucian batin untuk memenangkan dharma melawan adharma. Menghilangkan keletehan dari hati kita masing-masing. Memperhatikan makna Hari Raya Galungan itu, maka patutlah pada waktu-waktu itu, umat bergembira dan bersuka ria. Gembira dengan penuh rasa Parama Suksma, rasa terimakasih, atas anugrah Hyang Widhi. Gembira atas anugrah tersebut, gembira pula karena Bhatara-bhatara, jiwa suci leluhur, sejak dari sugi manek turun dan berada di tengah-tengah pratisentana sampai dengan Kuningan. Penjor terpancang di muka rumah dengan megah dan indahnya. Ia adalah lambang pengayat ke Gunung Agung, penghormatan ke hadirat Ida Sanghyang Widhi. Janganlah penjor itu dibuat hanya sebagai hiasan semata-mata. Lebih-lebih pada hari raya Galungan, karena penjor adalah suatu lambang yang penuh arti. Pada penjor digantungkan hasil-hasil pertanian seperti: padi, jagung, kelapa, jajanan dan lain-lain, juga barang-barang sandang (secarik kain) dan uang. Ini mempunyai arti: Penggugah hati umat, sebagai momentum untuk membangunkan rasa pada manusia, bahwa segala yang pokok bagi hidupnya adalah anugrah Hyang Widhi. Semua yang kita pergunakan adalah karuniaNya, yang dilimpahkannya kepada kita semua karena cinta kasihNya. Marilah kita bersama hangayu bagia, menghaturkan rasa Parama suksma. Kita bergembira dan bersukacita menerima anugrah-anugrah itu, baik yang berupa material yang diperlukan bagi kehidupan, maupun yang dilimpahkan berupa kekuatan iman dan kesucian batin. Dalam mewujudkan kegembiraan itu janganlah dibiasakan cara-cara yang keluar dan menyimpang dari kegembiraan yang berdasarkan jiwa keagamaan. Mewujudkan kegembiraan dengan judi, mabuk, atau pengumbaran indria dilarang agama. Bergembiralah dalam batas-batas kesusilaan (kesusilaan sosial dan kesusilaan agama) misalnya mengadakan pertunjukkan kesenian, malam sastra, mapepawosan, olahraga dan lain-lainnya. Hendaklah kita berani merombak kesalahan-kesalahan/ kekeliruan-kekeliruan drsta lama yang nyata-nyata tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran susila. Agama disesuaikan dengan desa, kala dan patra. Selanjutnya oleh umat Hindu di Bali dilakukan persernbahyangan bersama-sama ke semua tempat persembahyangan, misalnya: di sanggah/ pemerajan, di pura-pura seperti pura-pura Kahyangan Tiga dan lain-lainnya. Sedangkan oleh para spiritualis, Hari Raya Galungan ini dirayakan dengan dharana, dyana dan yoga semadhi. Persembahan dihaturkan ke hadapan Ida Sanghyang Widhi dan kepada semua dewa-dewa dan dilakukan di sanggah parhyangan, di atas tempat tidur, di halaman, di lumbung, di dapur, di tugu (tumbal), di bangunan-bangunan rumah dan lain-lain. Seterusnya di Kahyangan Tiga, di Pengulun Setra (Prajapati), kepada Dewi Laut (Samudera) Dewa Hutan (Wana Giri) di perabot-perabot / alat-alat rumah tangga dan sebagainya. Widhi-widhananya untuk di Sanggah/ parhyangan ialah: Tumpeng penyajaan, wewakulan, canang raka, sedah woh, penek ajuman, kernbang payas serta wangi-wangian dan pesucian. Untuk di persembahyangan (piasan) dihaturkan tumpeng pengambean, jerimpen, pajegan serta dengan pelengkapnya. Lauk pauknya sesate babi dan daging goreng, daging itik atau ayarn, dibuat rawon dan sebagainya. Sesudah selesai menghaturkan upacara dan upakara tersebut kemudian kita menghaturkan segehan tandingan sebagaimana biasanya, untuk pelaba-pelaba kepada Sang Para Bhuta Galungan, sehingga karena gembiranya mereka lupa dengan kewajiban- kewajibannya mengganggu dan menggoda ketentraman batin manusia. Demikianlah hendaknya Hari Raya Galungan berlaku dengan aman dan diliputi oleh suasana suci hening, mengsyukuri limpahan kemurahan Ida Sanghyang Widhi untuk keselamatan manusia dan seisi dunia. Pada hari Saniscara Keliwon Wuku Kuningan (hari raya atau Tumpek Kuningan), Ida Sanghyang Widhi para Dewa dan Pitara-pitara turun lagi ke dunia untuk melimpahkan karuniaNya berupa kebutuhan pokok tersebut. Pada hari itu dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Di dalam tebog atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua. Demikian secara singkat keterangan-keterangan dalam merayakan hari Raya Galungan dan Kuningan dalam pelaksanaan dari segi batin.

SEJARAH HARI RAYA NYEPI


Sejarah hari raya nyepi merupakan hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap Tahun Baru Saka. Dimana pada hari ini umat hindu melakukan amati geni yaitu mengadakan Samadhi pembersihan diri lahir batin. Pembersihan atas segala dosa yang sudah diperbuat selama hidup di dunia dan memohon pada yang Maha Kuasa agar diberikan kekuatan untuk bisa menjalankan kehidupan yang lebih baik dimasa mendatang. Hari Raya Nyepi jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (IX) yang diyakini saat baik untuk mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa dan dipercayai merupakan hari penyucian para dewa yang berada dipusat samudra yang akan datang kedunia dengan membawa air kehidupan (amarta) untuk kesejahteraan manusia dan umat hindu di dunia. Makna Hari Raya Nyepi Nyepi asal dari kata sepi (sunyi, senyap). yang merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan kalender Saka, kira kira dimulai sejak tahun 78 Masehi. Pada Hari Raya Nyepi ini, seluruh umat Hindu di Bali melakukan perenungan diri untuk kembali menjadi manusia manusia yang bersih , suci lahir batin. Oleh karena itu semua aktifitas di Bali ditiadakan, fasilitas umum hanya rumah sakit saja yang buka. Upacara sebelum hari Nyepi Ada beberapa upacara yang diadakan sebelum dan sesudah Hari Raya Nyepi , yaitu: Upacara Melasti Selang waktu dua tiga hari sebelum Hari Raya Nyepi, diadakan upacara Melasti atau disebut juga Melis/Mekiyis, dihari ini, seluruh perlengkapan persembahyang yang ada di Pura di arak ke tempat tempat yang mengalirkan dan mengandung air seperti laut, danau dan sungai, karena laut, danau dan sungai adalah sumber air suci (tirta amerta) dan bisa membersihkan dan menyucikan dari segala kotoran yang ada di dalam diri manusia dan alam. Upacara Bhuta Yajna Sebelum hari Raya Nyepi diadakan upacara Bhuta Yajna yaitu upacara yang mempunyai makna pengusiran terhadap roh roh jahat dengan membuat hiasan atau patung yang berbentuk atau menggambarkan buta kala ( Raksasa Jahat ) dalam bahasa bali nya sebut ogoh ogoh, Upacara ini dilakukan di setiap rumah, Banjar, Desa, Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi. Upacara ini dilakukan di depan pekarangan , perempatan jalan, alun-alun maupun lapangan,lalu ogoh ogoh yang menggambarakan buta kala ini yang diusung dan di arak secara beramai ramai oleh masyarakat dengan membawa obor di iringi tetabuhan dari kampung kekampung, upacara ini kira kira mulai di laksanakan dari petang hari jam enam sore sampai paling lambat jam dua belas malam, setelah upacara ini selesai ogoh ogoh tersebut di bakar, ini semua bermakna bahwa seluruh roh roh jahat yang ada sudah diusir dan dimusnahkan Saat hari raya Nyepi, seluruh umat Hindu yang ada di bali wajibkan melakukan catur brata penyepian. Ada empat catur brata yang menjadi larangan dan harus di jalankan : Amati Geni: Tidak menyalakan api serta tidak mengobarkan hawa nafsu. Amati Karya: Tidak melakukan kegiatan kerja jasmani, melainkan meningkatkan kegiatan menyucikan rohani. Amati Lelungan: Tidak berpergian melainkan mawas diri,sejenak merenung diri tentang segala sesuatu yang kita lakukan saat kemarin , hari ini dan akan datang. Amati Lelanguan: Tidak mengobarkan kesenangan melainkan melakukan pemusat. Pikiran terhadap Sang Hyang Widhi Brata ini mulai dilakukan pada saat matahari “Prabata” saat fajar menyingsing sampai fajar menyingsing kembali keesokan harinya, selama (24) jam. Upacara setelah Nyepi Upacara Hari Ngembak Geni berlangsung setelah Hari Raya Nyepi berakhirnya ( brata Nyepi ). Pada esok harinya dipergunakan melaksanakan Dharma Shanty, saling berkunjung dan maaf memaafkan sehingga umat hindu khususnya bisa memulai tahun baru Caka dengan hal hal baru yang fositif,baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat, sehingga terbinanya kerukunan dan perdamaian yang abadi Menurut tradisi, pada hari Nyepi ini semua orang tinggal dirumah untuk melakukan puasa, meditasi dan bersembahyang, serta menyimpulkan menilai kualitas pribadi diri sendiri. Di hari ini pula umat Hindu khususnya mengevaluasi dirinya, seberapa jauhkah tingkat pendekatan rohani yang telah dicapai, dan sudahkah lebih mengerti pada hakekat tujuan kehidupan di dunia ini. Seluruh kegiatan upacara upacara tersebut di atas masih terus dilaksanakan, diadakan dan dilestarikan secara turun menurun di seluruh kabupaten kota Bali hingga saat ini dan menjadi salah satu daya tarik adat budaya yang tidak ternilai harganya baik di mata wisatawan domestik maupun manca negara. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa makna Nyepi itu sendiri adalah manusia diajarkan untuk mawas diri, merenung sejenak dengan apa yang telah kita perbuat. Dimasa lalu, saat ini dan merencanakan yang lebih baik dimasa yang akan datang dengan tidak lupa selalu bersykur dengan apa yang telah diberikan oleh sang Pencipta Bagi anda yang sibuk dengan pekerjaan dan rutinitas yang begitu padat ada baik nya anda meluangkan waktu sejenak keluar dari hiruk pikuk tersebut dan datang ke Bali sekedar introspeksi diri bahwa dalam kehidupan ini mempunyai terkaitan antara satu dan lain nya dan tidak lupa menyaksikan keadaan di Bali saat hari raya Nyepi akan terasa bedanya.

HARI PENGRUPKAN




OGOH-OGOH MERUPAKAN BUDAYA BARU DI BALI. KEHADIRANNYA MENJADI SALAH SATU PERANGKAT ALAT RITUAL NYEPI. Sehari sebelum Nyepi, masyarakat Hindu khususnya di Bali, melaksanakan tradisi pengrupukan. Tradisi ini semacam prosesi mengembalikan bhuta kala ke asalnya. Menurut kepercayaan, mereka dibangunkan dengan alat-alat, umumnya obor; api saprakpak, sembur meswi, bunyi-bunyian kentongan yang dibawa mengelilingi seisi rumah. Sementara itu, berwujud ogoh-ogoh, sang “bhuta kala” lalu diarak menuju catus pata, perempatan. Pawai ogoh-ogoh hampir selalu diadakan tiap kali menyambut hari raya Nyepi. Rupa mereka direka sedemikian rupa dengan variasi bentuk menyeramkan. Ada yang berwujud raksasa, perjelmaan dewa-dewi dalam murti-nya, mengambil tokoh dari cerita pewayangan atau memakai figur-figur yang sedang populer. Mereka dirakit memadukan estetika seni yang memikat secara visual. Hampir setiap tahun, keberadaan ogoh-ogoh bak penggenap wajib dalam tradisi menyambut Nyepi. Pawai semarak selalu menjadi atraksi yang dinanti. Kebanyakan orang pasti bertanya perihal cikal bakal ogoh-ogoh dalam tradisi menyambut Nyepi. Salah satu yang tergelitik adalah Kadek Adhi Indrayana. Dia membuat penelitian tentang ogoh-ogoh secara akademis. Lulusan S1 Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar yang mengambil program S2 Kajian Budaya ini, mengangkat keberadaan ogoh-ogoh dalam kaitannya dengan ritual Nyepi. Dalam tesisnya, putra pemilik Sanggar Gases Bali ini mencoba mengupas keberadaan ogoh-ogoh dalam hal bentuk, fungsi, dan makna. Ditemui di kantor kecilnya di Jalan Dukuh Sari ketika tengah melayani pelanggan pekan lalu, Kadek Adhi berbagi cerita sekaligus berkenan membagi materi tesisnya. Ia mengawali perbincangan dengan mengatakan, ogoh-ogoh sebagai suatu bentuk perwujudan. “Ogoh-ogoh sesungguhnya merupakan gambaran akan bhuta kala yang diwujudkan ke dalam suatu bentuk,” terang Kadek Adhi. Penamaan ogoh-ogoh pun diambil dari sebutan ogah-ogah dari bahasa Bali. Artinya sesuatu yang digoyang-goyangkan. Ogoh-ogoh diabadikan bahkan dalam sebuah lagu Bali cukup populer. Kata-kata itu dicatumkan sebagai lirik berbunyi “ogah-ogah, ogoh-ogoh, kala-kali lumamapah/ ogah-ogah, ogoh-ogoh, ngiterin desa…”. Tahun 1983 bisa menjadi bagian penting dalam sejarah ogoh-ogoh di Bali. Pada tahun itu mulai dibuat wujud-wujud bhuta kala berkenaan dengan ritual Nyepi di Bali. “Ketika itu ada keputusan presiden yang menyatakan Nyepi sebagai hari libur nasional,” tutur Kadek Adhi. Semenjak itu masyarakat mulai membuat perwujudan onggokan yang kemudian disebut ogoh-ogoh, di beberapa tempat di Denpasar. Budaya baru ini semakin menyebar ketika ogoh-ogoh diikutkan dalam Pesta Kesenian Bali ke XII. Delapan kabupaten ikut berkontribusi. Sebelum itu, menurut Kadek Adhi, hanya ada pawai-pawai tanpa ada bentuk perwujudan. Lelakut Tradisi mengembalikan Bhuta Kala ke asalnya di hari pengrupukan, disimbolkan dengan ogoh-ogoh, mirip tradisi lama masyarakat Hindu Bali. Tradisi Barong Landung, Tradisi Ndong Nding dan Ngaben Ngwangun yang menggunakan ogoh-ogoh Sang Kalika, disebutkan Kadek Andhi bisa juga dirujuk untuk menelusuri cikal bakal wujud ogoh-ogoh. Di dalam babad, tradisi Barong Landung berasal dari cerita tentang seorang putri Dalem Balingkang, Sri Baduga dan pangeran Raden Datonta yang menikah ke Bali. Tradisi meintar mengarak dua ogoh-ogoh berupa laki-laki dan wanita mengelilingi desa tiap sasih keenam sampai kesanga. Visualisasi wujud Barong Landung inilah yang dianggap sebagai cikal bakal lahirnya ogoh-ogoh dalam ritual Nyepi. “Ada tradisi Ndong-nding yang bisa juga dirujuk,” tambah Kadek Adhi. Ngusaba Ndong nding semacam tradisi pengusiran hama di Karangasem, menurut Kadek Adhi, ritual ini menggunakan lelakut, semacam orang-orangan sawah. Hama diibaratkan sebagai sang bhuta kala, energi negatif yang mengganggu manusia. Begitu halnya ketika hari pengrupukan. Sang Bhuta Kala diberi upah berupa pecaruan, lalu disomya, disadarkan agar kembali ke asalnya. Dualisme itu ada dan harus diseimbangkan. “Ada mantra khan yang bunyinya dewa ya, bhuta ya, kala ya,” ujarrnya. Diterangkannya, dewa dari div berarti sinar; bhuta dari bhu berarti gelap. Sedangkan kala yang berada di tengah-tengah, berarti energi atau kekuatan bisa juga waktu. “Maka, ketika kala terpengaruh bhuta dia mengandung energi kegelapan, negatif menjadi bhuta kala. Sebaliknya, begitu juga pada dewa,” terangnya. Sifat-sifat itu juga ada dalam manusia. “Bila kita marah, menyeramkan, kita memiliki sifat-sifat bhuta,” urai kadek Andhi yang juga mengabdi sebagai mangku. Ogoh-ogoh menurut Kadek Andhi juga digunakan dalam upacara ngaben. “Ada namanya Ngaben Ngwangun, salah satu tingkatan upacara ngaben, bisa berupa kakek atau nenek,” ungkapnya sembari menerangkan juga perihal Sang Kalika. Kaca Rasa Ogoh-ogoh merupakan budaya baru di Bali. Kehadirannya menjadi salah satu pelengkap ritual Nyepi. “Ada budaya-budaya yang mengalami proses tersakralisasi dan itu sah-sah saja,” paparnya. Eksistensi tradisi dalam pelaksanaan ritual umat Hindu di Bali saling melengkapi, sudah baur menjadi kesatuan. Seiring waktu banyak yang mengkaji keberadaan ogoh-ogoh baik dari tafsir agama, seni dan budaya. “Setelah dikaji dan dikaitkan dengan konsep agama, ogoh-ogoh lebih mengarah ke bentuk tradisi,” ujar kadek Adhi. Ogoh-ogoh merunut jejaknya, kemunculannya lebih kepada suatu bentuk simbolisasi. Menyimbolkan energi-energi negatif sang bhuta kala, dengan perwujudan menyeramkan untuk dipralina, dilebur dengan air maupun api. “Umpamanya, kalau mau mengusir yang jahat pakailah perwujudan yang serem juga,” candanya. Logika ini ia namai dengan konsep kaca rasa, yang memberikan suatu cerminan atas sesuatu yang terlihat.